Inikah Jawabanmu, Tuhan?
Buah Karya: Kasyafa Firesa
Kembali lagi denganku, Sahabat, Farhana Azzaryska. Seorang gadis yang masih saja disebut lugu oleh banyak orang, meski kini usiaku telah 20 tahun. Dua tahun lamanya aku membenamkan diri pada kesunyian hingga tak berani kembali bercerita padamu melalui blog ini. Dan kurasa, dua tahun yang cukup singkat ini menyisakan ribuan kisah yang menyesakkan dadaku. Mungkin inilah saatnya aku mencurahkan semuanya, kenangan pahit yang dapat membunuhku secara perlahan. Yang membuatku terbang pada saat-saat tertentu, sekaligus menghujamku ke dasar jurang pada saat yang bersamaan. Tak percayakah Kau dengan itu?
***
14 November 2012, masih melekat saja kenangan pada saat itu dalam memoriku. Ingin rasanya aku kembali ke masa itu, saat kaki kecil ini menginjak Tanah Kerinci di seberang pulau. Tanah dengan segenap keindahan menyertainya, dilengkapi dengan makhluk Tuhan nan ramah. Ingin rasanya kembali bertegur sapa dengan mereka yang menawarkan sebuah senyum yang tulus. Ah, Tanah Kerinci begitu sempurna dengan kehadiran mereka.
Tak terasa waktu terus berjalan, dua minggu sudah aku berada di Jambi dan harus berakhir untuk pulang. Tak ada kisah spesial yang perlu dijelaskan secara detail. Yang pasti, satu hari sebelum kepulanganku, aku diikutsertakan unutk Pemilihan Pramuka Putri Teladan Tingkat Nasional. Mewakili provinsiku, seorang diri, disertai dengan kecemburuan mereka-mereka yang tidak terpilih. Nothing special. Biarkan mereka memendam kecemburuan itu, toh bukan aku yang mengajukan diri. Berkat nekat yang bercampur dengan nasib keberuntungan yang sedang berpihak padaku, aku berhasil menjadi Runner Up pertama, mengalahkan puluhan wanita cantik dengan gaun adat yang tak kalah cantiknya. Sedangkan aku? Teman-teman sudah tahu bagaimana aku, kan? Dandan saja aku tak bisa, memasak apalagi. Maka entah darimana asalnya, aku bisa menandingi saingan beratku dan mengharumkan Jawa Barat meski hanya satu kali.
Setelahnya, aku beserta teman-teman harus kembali ke kampung halaman, Bekasi, kota infdustri yang tak banyak dirindukan orang. Di antara rombonganku, hanya aku saja yang tak ingin pulang, karena teman-temanku yang lain lebih merindukan kesejukan rumah. pikir mereka. Bukan aku tak merindukan rumah, tapi aku berada di sana jauh lebih lama dibandingkan berada di alam luar seperti ini. Ingin rasanya aku bertahan, tapi teringat akan tugas-tugas yang menumpuk dan ulangan susulan yang harus kukejar karena tidak sekolah selama dua minggu ini, membuatku melupakan semuanya. Aku bisa saja tinggal di hutan, atau mencari kenalan, berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Namun, aku tak mungkin melupakan tanggung jawabku sebagai pelajar yang belum tuntas. Dengan berat, kulangkahkan kaki menuju bis. Suasana pulang begitu cair, teman-temanku kembali berceloteh dan saling memamerkan foto mereka saat di Jambi. Aku? Hadiah pun tak kusentuh, hanya menulis catatatn tak jelas dalam notebook. Tak ada ponsel, tak ada yang perlu kuhubungi, tak ada yang perlu kucari tahu. Memori indah di Tanah Jambi selalu terngiang dan membuatku semakin merindukannya.
Satu setengah hari perjalanan, kami kembali harus menyeberang laut dengan Kapal Feri. Karena tiba di sana pada malam hari, masih jelas ingatanku betapa indah view di sana. Kerlipan lampu-lampu yang menyala sepanjang tepi laut, aduhai, aku ingin tinggal di sini lebih lama. Iseng, kukeluarkan bolpoin hitamku saat petugas kapal tak ada. Dan teman-teman tau apa yang akan kulakukan? Hehehe. Kuukir sebuah tulisan di pagar kapal bagian bawah. Pagar berwarna putih itu membuat tulisan bolpoinku terlihat menyala. Aku tersenyum saat mengukirnya, dan bertekad bahwa suatu saat akan kujumpai lagi tulisan ini dengan orang lain yang kuukir namanya di sana.
Namun, khayalan tinggal khayalan. Tak lama setelah aku selesai menulis, petugas kapal memergokiku yang tengah memandangi tulisan itu. Sialnya, bolpoin masih kupegang dengan tanganku dan pelaku penulisan itu tertangkap sudah.
"Apa yang kamu tulis itu, hey? Ini kapal bukan papan tulis, tak bawa kertaskah kau?" Begitu kira-kira yang ia maksud, karena bahasa Lampung yang ia gunakan sulit kumengerti. Teman-temanku hanya tertawa cekikikan melihatku, akupun menanggapinya dengan santai sambil tersipu malu.
"Hapus pakai ini!" Petugas kapal itu menyodorkan sabun colek beserta spons kepadaku, meskipun ia memakai bahasa Lampung lagi, aku langsung mengerti maksudnya.
Kuambil sedikit sabun colek itu dengan spons dan berpura-pura menggosokkannya. Petugas kapal itu langsung pergi setelah mengetahui bahwa aku akan menghapusnya. Dan tanpa dia ketahui, aku tak jadi menghapus tulisan itu. Teman-teman langsung mengerubungiku untuk tau apa isi tulisan itu. Tawa keras kembali menggelegar, bahkan kami menjadi tontonan penumpang kapal yang lain.
"Hanaa..Hana.." Nheza menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum dan menutupi tulisan itu sepanjang jalan.
***
"What are your competences which make you wanna work in here?" Mr. Boyke, lelaki asal Kanada berkulit putih itu bertanya kepadaku. Setengah sadar aku menjawabnya, aku pun tak menyangka mengapa kini aku berada dalam wawancara pelamar kerja di perusahaan besar di kotaku. Siapa yang melangkahkan kakiku kesini, kurasa aku tidak melakukannya. Sejak pembuatan surat keterangan pencari kerja, hingga akhirnya aku sampai pada tahap akhir yang akan menentukan nasibku, aku seperti kehilangan kesadaran saat melakukannya. Ragaku berpindah ke sana kemari, dari kantor polisi lalu ke kecamatan, ke rumah sakit untuk medical checku-up, dan bolak-balik dari rumah ke perusahaan lalu ke rumah lagi dan kembali ke sana lagi. Tapi jiwaku, ia berada di semak-semak kumpulan buku-buku itu. Masih menempel pada seragam putih abu-abu, masih melekat pada bolpoin hitam yang selalu kukenakan. Masih bersemayam pada buku diktat yang selalu kupelajari. Tidak, tidak, Tuhan. Aku ingin berlari meninggalkan mereka dan segera duduk di atas bangku, mendengarkan materi dari seseorang yang kupanggil dosen, berpusing ria dengan seabrek rumus-rumus. Aku merindukan itu.
"Hey, girl? What was in your mind? You have just two minutes!"
Pria bule itu membuyarkan lamunanku. Aku tau aku harus menjawabnya, meski aku tak peduli lagi dengan hasil nanti. Aku jawab sekenanya lidahku bergerak, bahkan aku tak mengerti mengapa mereka tersenyum puas dan mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan akhirnya, wawancara sudah selesai dan aku kembali ke rumah. Meninggalkan tempat yang membingungkan itu. Mengapa aku bisa berada di sana?
***
Hari ini, aku menghabiskan waktu bersama teman-temanku di Pramuka. Karena adik-adikku mengikuti lomba, aku hadir di sana sekedar untuk menyemangati. Saat adzan Maghrib berkumandang, aku baru memasuki pelataran rumah. Kubuka pagar rumah dan berpapasan dengan Abi yang hendak ke musholla.
"Cepat mandi dan shalat!" Aku menganggukkan kepala. Abi sudah melangkah menuju musholla yang berada di dekat rumahku. Usai mengucapkan salam, aku mendengar Umi sedang mengambil air wudhu. Segera kulepas tasku dan mengambil handuk, berpapasan dengan Ummi.
Ia tersenyum, berhenti sejenak saat aku berpapasan dengannya. Seperti ada yang ingin ia sampaikan, tapi ia segera berlalu. Aku langsung mandi dan menyusulnya shalat.
"Ini ada surat." Ummi menyodorkan surat saat aku melipat sajadah, beramplopkan putih dengan desain gedung perusahaan yang kemarin kudatangi. Mungkin surat pengumuman, aku membukanya dan melirik Ummi. Ia tersenyum puas, dan aku bisa menebak apa keajaiban itu.
"Diterima". What? Mataku membelalak melihatnya. Ribuan tanda tanya berkelebat dalam pikiranku, bagaimana bisa lulusan SMA tanpa kompetensi sepertiku bisa diterima bekerja di perusahaan terkenal di kota ini? Aku benar-benar kecewa, mengapa aku tidak bisa berpura-pura menunjukkan ketidakbisaanku pada penguji kemarin? Lain halnya dengan Ummi, ia begitu sumringah seolah mendengar akan diberangkatkan haji.
"Alhamdulillah, kamu diterima bekerja ya." Ia mengusap kepalaku. Aku hanya tersenyum getir. Kutundukkan kepala agar wajah layuku tak terlihat olehnya. Aku langsung pamit untuk menyimpan mukena beserta sejadah ke kamarku. Tak lama, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor asing. Lambat sekali langkahku untuk mengambilnya, mungkin saja ini konfirmasi dari perusahaan itu yang mengumumkan melalui sms. Tanpa basa-basi, aku membukanya.
"Diterima". Ya, kata itu lagi. Aku semakin tak bersemangat dan ingin meletakkan itu ke atas kasurku. Tapi, mataku melihat ada kata lain pada sms itu. Tak kutemukan nama perusahaan tersebut, melainkan... Institut! Ya, institut! Jantungku tiba-tiba berdegup kencang dan mataku terbuka selebar-lebarnya.
"Diterima, di Institut..." Allahu Akbar. Allahu Akbar. Aku meneteskan air mata setelah membacanya. Aku masih tak percaya meski aku berharap ini benar-benar nyata. Aku menepuk-nepuk pipiku dengan kencang. Iya, ini nyata. Terimakasih Ya Allah... Kubersujud seraya menitikkan air mataku. Aku segera menemui di ruang tengah, menunjukkan sms itu padanya. Kini, aku yang tersenyum riang. Sedangkan Ummi terlihat pasrah dan tidak bergairah melihatnya. Sepertinya, ia tau apa yang akan kulakukan. Aku tak akan ragu lagi, aku memang diterima di perusahaan terkenal yang menjanjikanku gaji besar. Tapi, institut ini juga menerimaku. Bagaimana mungkin aku mempertaruhkan sebuah ladang ilmu dengan tumpukan rupiah?
***
Packing sudah selesai. Aku bersama Abi menaiki motornya dan beranjak menuju Kota Kembang, dimana institut yang menerimaku berada. Abi bilang, menggunakan motor lebih menyenangkan. Aku akan memiliki waktu yang lebih lama dengan Abi, karena ia tahu bahwa aku akan segera merantau di luar kota. Kuiyakan saja, meski kami harus berhenti di tengah-tengah perjalanan. Entah karena adzan, Abi yang kelelahan, ataukah kakiku yang kram. Hehehe, abi selalu memiliki selera humor yang membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Tak terasa, kami tiba di institut saat adzan Zhuhur berkumandang. Lima jam perjalanan di motor cukup untuk membuat tubuhku pegal-pegal. Aku dan Abi langsung menuju masjid terdekat untuk shalat dan beristirahat.
Tepat pukul 13.00, aku memasuki ruang administrasi di Institut untuk mendaftar ulang. Petugas yang dahulu juga melayaniku, bahkan aku masih ingat ucapannya dulu,
"Adik daftar beasiswa di Teknik Industri? Wah, yang daftar banyak sekali, Dik. Cuma satu orang yang akan diterima, kecil sekali kemungkinannya."
Tentu, ucapan ini masih melekat dalam pikiranku, karena ucapan inilah aku menjadi down, sekaligus lebih bersemangat belajar demi mempersiapkan untuk test disini. Dan, kini aku kembali dengan senyum yang merekah. Petugas itu melihatku lama, mengacungkan telunjuknya seperti pernah melihatku.
"Kamu.. yang waktu itu dateng dari Bekasi ya? Wah wah, kamu diterima jalur beasiswa? Selamat, selamat, hebat bisa masuk ya." Ia menjabat tanganku, aku sangat sejuk mendengar ucapan itu. Ucapannya yang dulu membuatku down kini tersulap menjadi motivasi yang membuat semangatku menyala. Ya, ini semua karena Allah telah berbaik hati padaku. Abi yang menyaksikannya hanya tersenyum haru, ia menungguku di kursi belakang.
Setelah aku mendapatkan formulirnya, aku segera menghampiri Abi untuk mengisi formulir tersebut. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh Abi. Ia begitu seksama membaca isi kontrak perjanjian beasiswaku. Beberapa kali harus tercengang karena melihat bahwa IPK-ku harus di atas 3, dan persyaratan lain yang membuatnya khawatir. Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku bisa melakukannya. Aku langsung beranjak membeli materai 6000 untuk ditempelkan pada surat perjanjian. Setelah selesai, kuserahkan pada petugas dan aku mendapatkan kartu studi mahasiswa. Ya, mahasiswa! Aku menggandeng Abi untuk mencari kost yang akan kutempati. Sulit juga mencarinya, hingga akhirnya Abi memakirkan motornya di kampusku dan kami berjalan kaki. Kutelusuri gang-gang kecil yang berada di seberang kampus, berharap ada kost-kost kosong yang bisa kusewakan. Beruntung ada seorang ibu yang melihat kami dan langsung menawari kami kost-an kosong. Ia menunjukkan kami kost-an kosong yang dimaksud.
Setelah melihat kondisi kamar dan bertemu dengan pengelola kost-nya, tanpa babibu Abi segera membayar uang muka. Selain letaknya yang sangat dekat dari kampus, pertimbangan Abi adalah pengelola kost-nya yang sangat ramah dan tinggal bersamaku. Dengan kata lain, aku memiliki orang tua baru yang akan menjaga dan mengawasiku.
Setelah itu, kami pulang dan kembali menaiki motor Abi. Perjalanan terasa lega, senyumku mengembang sepanjang jalan. Ingin rasanya cepat-cepat merantau dan meninggalkan rumah. Aku ingin tahu seberapa aku bertahan dalam kesendirian di kota kembang nanti.
***
Sidang senat untuk upacara penerimaan mahasiswa baru telah digelar, aku dikelilingi oleh wajah-wajah asing di sekitarku. Dari SMA-ku, tak ada yang mendaftar ulang ke institut ini. Beberapa di antara mereka lebih memilih berkuliah di dekat rumah, ada yang telah diterima di universitas lain, dan sisanya entah kemana. Kemegahan gedung semakin membuatku merasa kecil. Suasana riuh-rendah mahasiswa baru yang saling mengenal satu sama lain membuatku merasa terasing. Beberapa di antara mereka berasal dari sekolah yang sama, sedangkan aku, seorang diri mewakili SMA yang antah berantah tak akan mereka kenal dari sini.
"With Hana Azzaryska, from Bekasi." Perkenalan singkat yang menjadi permulaanku di kota kembang ini.
Bandung,
Terimakasih sudah merelakanku mengukir sejarah disini.
No comments:
Post a Comment