Akankah Pengorbanan Ini Sia-sia?
Buah Karya: Kasyafa Firesa
Wanita itu diciptakan untuk menjadi mulia. Jangan rusakkan kemuliaan itu, Nak. Ummi ingin kamu menjadi wanita muslimah seutuhnya. Biarlah Tuhan yang mengatur kita, karena Ia Mahatahu apa yang terbaik...
Kata-kata itu sudah sering sekali kudengar dari bibir manismu, Ummi. Betapa sayangnya engkau pada diriku. Ingin sekali aku memelukmu, meneteskan air mata di atas pundakmu. Ingin rasanya aku dengan mudah menuruti kata-katamu. Namun, apalah dayaku yang telah terpikat karenanya...
Kawan, perkenalkan, namaku Farhana Azaryska, banyak yang memanggilku Hana. Aku adalah wanita yang memiliki banyak kekurangan di sana-sini, namun hal itu tak pernah membuatku minder. Segala kekuranganku adalah kekuatan untukku. Rahasia yang jitu dan ampuh untuk mencetak berbagai prestasi dan selalu menjadi yang terbaik pada apa yang aku lakukan. Wajah yang tidak cantik ini selalu kututupi dengan hijab besar. Tubuh yang tidak indah ini selalu kututupi dengan pakaian yang menutup aurat. Banyak yang menyukai, namun tak sedikit yang mencerca. Ya, itulah aku. Seorang anak dari pasangan yang taat akan agama, membuatku sedikit 'terkurung' dan menjauh dari teman sebaya.
Hari ini, usiaku menginjak 18 tahun. Usia remaja yang telah memasuki usia dewasa, yang memaksaku harus dewasa sesuai umurku saat ini. Seragam putih abu-abu yang selama ini menemani hari-hariku, harus kutinggalkan sejak pengumuman kelulusan telah dikumandangkan. Masa putih abu-abu yang "kata orang" itu indah, tapi terasa hambar untukku. Tak ada kisah cinta. Tak ada kenangan yang harus dikenang. Tak ada seseorang spesial. Kesimpulannya, tak ada yang indah. Hanya kesedihan dan ratapan-ratapan yang aku dapat, diselingi rasa senang yang tidak bermunculan setiap saat, itupun setelah dengan susah payah aku memaksakan diriku untuk tersenyum.
Kawan, mungkin kalian menganggapku aneh. Ya, Hana yang dahulu periang, ceria, penuh dengan kebahagiaan di masa kecilnya, kini telah hilang. Ya, aku pun tak tahu jiwa-jiwa indah itu berlarian kemana. Yang jelas, kini, aku merasa sendiri. Sunyi. Tak ada teman untukku ceria. Tak ada tempat untukku berlindung. Tak ada naungan untukku berteduh.
***
"Selamat ya, kemarin juara 2. Hebat." Sosok lelaki berkacamata itu menghampiriku dan memberiku selamat. Sesaat setelah itu, ia langsung pergi begitu saja. Aku sendiri tak sempat mengucapkan terimakasih untuknya. Ucapannya menyisakan senyum yang mengembang di bibirku. Aku sangat bahagia. Sudah banyak yang memberiku selamat, namun ucapan sosok lelaki itulah yang membuatku sangat bahagia.
Fariz Al - Ayyubi, nama lelaki berkacamata itu. Sosok yang cerdas, berkharisma dan istimewa di mataku. Aku mengenalnya 4 tahun lalu, sejak ia melatih organisasi yang aku geluti sejak dulu, Pramuka. Kehadirannya membuat perubahan, baik untuk diriku maupun temanku yang lain. Aku yang dahulu tak pernah sekalipun menjuarai berbagai perlombaan, setelah diajar olehnya, puluhan piala dengan mudah kudapat. Ya, ialah guruku. Yang mengajarkan berbagai ilmu, yang memotivasiku dalam segala hal, dan yang selalu menunjukkan teladannya pada sekitar.
Sederet kesempurnaan itulah yang membuatku kagum padanya. Apa-apa yang berhubungan dengannya selalu menarik perhatianku. Selalu ingin rasanya aku berkomunikasi dengannya, baik itu langsung maupun tidak. Sejak tabunganku mampu tertukar dengan sebuah ponsel, kegembiraanku semakin menjadi-jadi. Aku makin sering berhubungan dengan pelatihku itu, baik untuk bertanya, maupun bercerita tentang suatu hal. Sampai suatu ketika, Ummi menegurku yang terlalu sering menggunakan ponsel. Kebiasaan aneh dan buruk menurut Ummi, yang membuatku enggan untuk tidur cepat seperti biasanya.
Biasanya, aku langsung menuruti perintah Ummi, mengakhiri obrolanku dengannya melalui pesan singkat dan mematikan ponselku. Meski itu terpaksa, namun aku tahu maksud Ummi sangatlah baik. Sejak itu, aku semakin jarang berkomunikasi dengannya. Aku tahu ia adalah seorang yang sibuk, jaringan pertemanannya luas, bahkan lebih luas dariku. Dapat kupastikan ia takkan merasa kesepian jika tidak berkomunikasi denganku. Menurutnya, aku ini siapa? Aku hanya bisa mengerutkan kening. Ya, memang aku ini siapa? Rasanya pertanyaan sepele nan penting itu harus selalu kutempel pada jidat agar aku tak lupa akan itu.
Semakin hari kesibukanku semakin berkurang. Urus-mengurus masalah ijazah dan perkuliahan telah selesai kuhadapi. Tibalah aku disaat-saat rasa sepi itu datang bermunculan. Semakin menambah goresan tinta kepedihan dalam jiwaku, yang semakin bertambah dalam dan dalam. Aku semakin mengingatnya, dan tentu saja, merindukannya. Rasa rindu itu tak pernah absen kusampaikan pada salah satu sahabatnya, yang telah mengenal aku dan dia. Sahabatnya bernama Dio Rahadian Putra, biasa kupanggil Kak Dio. Ia adalah sahabat Kak Fariz, namun memiliki karakter yang berbalik 180 derajat. Kak Fariz cenderung serius, sedangkan Kak Dio berjiwa humoris. Kak Fariz yang super cuek, tetapi Kak Dio memiliki sifat perhatian yang begitu besar. Anehnya, Kak Fariz yang aku sayang, yang aku agung-agungkan dan aku rindukan setiap waktu. Sedangkan Kak Dio, sebagai sahabat Kak Fariz tentu ia mengenal dengan sangat seperti apa sosok Kak Fariz itu. Seringkali aku bertanya ini-itu padanya. Selain bertanya, aku jutga sering bercerita banyak hal. Tak ada rasa segan ataupun tembok pembatas antara aku dengan Kak Dio. aku merasa nyaman bercerita kepadanya, selain karena sifatnya yangt dewasa, ia juga pandai menjaga rahasia.
Di usiaku yang semakin dewasa, tak lagi sering aku menyentuh buku harianku. Buku harian bergambar Mickey Mouse cantik yang dahulu selalu menemani hari-hariku. Di dalamnya, terdapat banyak keluh kesahku saat masa Sekolah Dasar ataupun masa putih biru. Isi hatiku, kegundahan dalam diriku, semua kutumpahkan pada siapa saja yang aku percaya. Setiap waktu, orang itu selalu bergantian. Tak semua temanku cocok menjadi teman curhatku. Setelah memenuhi pertimbangan yang panjang, akhirnya kutemuilah 2 orang dengan kriteria pendengar curhat terbaik. Salah satunya adalah Kak Dio. Seorang yang lain adalah Kak Zaki, yang juga sahabat dari Kak Fariz. Memang sengaja aku memilih orang-orang yang berada didekatnya, agar mereka dapat memberikan pertimbangan dan saran yang bermanfaat untuk kuterima.
Di awal, aku selalu menceritakan apa isi hatiku pada Kak Zaki. Sebagai sahabat Kak Fariz, tentu ia telah hafal seluk-beluknya. Setelah panjang lebar aku bercerita, hanya dua kata yang bisa ia berikan. Menyebalkan. Namun itulah yang hanya bisa ia berikan. Dua kata yang sempat membuat dadaku sesak dan memutuskan untuk berhenti mencurhat padanya: MOVE ON!
Sayangnya, Tuhan menciptakan aku sebagai seorang yang penyayang. Sulit sekali aku menyayangi seseorang, tapi setelah aku menemukan seseorang yang tepat, aku akan sulit dan merasa sangat sulit untuk melupakannya begitu saja. Pendapat-pendapat Kak Zaki yang awalnya menyejukkan hatiku, kini ia akhiri dengan dua kata yang membuatku sedih. Aku tidak menyalahkannya, karena aku sendiri yang meminta sarannya. Apapun akan kuterima, namun memang sulit rasanya untuk mengindahkan sarannya itu. Berkali-kali aku bertanya padanya, adakah saran lain yang dapat dengan leluasa kulakukan? Dan ia menjawab dengan singkat. "Tidak." Tidak ada jalan lain untuk dilakukan, menurutnya. Setelah itu, kuputuskan untuk tak akan meminta sarannya lagi.
Kisahku berlanjut pada Kak Dio, semenjak aku meninggalkan Kak Zaki, aku rasa Kak Dio-lah orang yang tepat. Dan benarlah dugaanku. Yap! Ia adalah orang yang tepat. Bahkan sampai saat ini, komunikasiku dengannya tak pernah terputus. Tak hanya bercerita tentang Kak Fariz, tetapi dalam setiap hal kecil yang aku alami, pasti aku ceritakan padanya. Dan, ia selalu setia merespon pesan singaktku untuk kemudian memberi respon yang menyisakan senyum dibibirku.
Aku tahu semua orang dilahirkan dengan karakter yang berbeda. Dibandingkan dengan Kak Zaki, Kak Dio lebih dekat dengan Kak Fariz. Mereka bagai sahabat yang tak pernah terpisahkan. Seringkali aku mengamati mereka berjalan beriringan, layaknya sahabat yang selalu setia dimanapun salah satunya berada. Namun apa yang aku hadapi saat ini sangatlah mengherankan, mereka begitu tampak berbeda. Berbeda dari semua sisi. Dari semua kepribadiannya, sikapnya dan pendapatnya. Tak aku temui persamaan diantara mereka, kecuali, mereka berasal dari sekolah yang sama dahulunya. Ya, hanya itu.
Perlahan, aku bercerita banyak tentang Kak Fariz kepadanya. Responnya begitu dahsyat, membuatku semakin bersemangat untuk menyayangi sosok istimewa itu. Tak malu lagi aku mengungkapkan kata-kata rindu untuk Kak Fariz, tapi tentu saja aku mengucapkannya pada Kak Dio. Seiring kedekatanku dengan Kak Dio, aku juga tak berhenti menghubungi Kak Fariz via pesan singkat. Karena memang hanya itu cara yang dapat aku lakukan. Namun seiring dengan pekerjaan Kak Fariz yang sangat menyita waktunya, ia sering sekali ia mengabaikan pesan singkatku. Pesan singkat yang memang sederhana, namun respon darinya sangat berarti untukku. Setiap ada balasan darinya, aku selalu dan selalu mengembangkan senyumku. AKu benar-benar mencintainya. Tak pernah bisa aku melupakannya walau sebentar.
Kak Dio, ia sangat mengerti aku. Saat Kak Fariz menunjukkan bahwa ia sedang dekat dengan wanita lain, yang tentu saja sangat membuat hatiku sakit, Kak Dio datang untuk menghibur. Ia tak sama seperti Kak Zaki. Ia sama sekali tak pernah menyuruhku untuk move on, karena ia tahu itu sullit untuk kulakukan. Namun akulah yang bertanya padanya, "Haruskah aku move on dari Kak Fariz, Kak?" Lagi-lagi ia menjawabnya dengan bijaksana.
"Lakukan apapun sesuai kata hati kamu. Jika itu yang terbaik, mengapa tidak?" Ya, kata-kata itu sangat menyejukkanku. Sejak itu, aku semakin dekat dengannya. Seiring dengan sibuknya Kak Fariz, aku semakin meningkatkan intensitas komunikasiku dengan Kak Dio. Aku bersedih, menangis, marah dan emosi yang kuluapkan untuk Kak Fariz, kucurahkan pada Kak Dio. Namun ia sama sekali tak pernah marah dan protes atss sikapku. Ia sangat memahami bagaimana berada diposisiku.
Sampai suatu ketika, aku berniat membuatkan hadiah spesial untuk kado ulang tahun Kak Fariz. Aku menceritakan rencana indahku itu pada Kak Dio. Ia sangat mendukungku walau sempat mengingatkanku, bukankah aku sedang move on? Tapi dengan enteng ikrarku itu kutinggalkan. Kak Dio tetap saja mendukungku. Menyemangati apa saja yang aku lakukan, selama itu positif. Berbagai bahan yang aku perlukan untuk membuat hadiah itu segera kusiapkan. Tinggal aku merakitnya menjadi rangkaian indah sebagai hadiah spesial untuk kupersembahkan untuk lelaki yang sangat aku sayangi itu.
Tapi setelah rangkaian itu tinggal setengah jadi, betapa terkejutnya aku. Melalui akun jejaring sosial temanku, aku baru mengetahui bahwa ia sedang dekat dengan wanita lain. Ya, dekat. Bahkan sangat dekat. Saat itu, aku tak tahu bagaimana hancurnya perasaanku. Perasaan yang kupendam selama ini akhirnya harus terbuang juga. Pengorbanan yang selama ini aku lakukan, salah satunya dengan menolak semua laki-laki yang mencoba mendekatiku dan menawarkanku untuk menjadi kekasih mereka, semua itu aku tolak. Semata-mata, itu hanya karena aku menunggu cintanya. Ya, cinta Kak Fariz. Cinta yang telah lama aku pendam namun tak kunjung membuahkan hasil. Bahkan ketika aku berniat untuk membuatkannya hadiah spesial, ia justru menyakitiku. Menyakitiku dengan sangat. Ya Tuhan... Apa yang terjadi kepadaku saat ini?!
Sejak saat itu, kucoba menghapus namanya dalam daftar orang yang pernah aku kagumi, sayangi dan cintai. Kini aku tak pernah emnangis untuknya. Hm, bodoh. aku baru sadar bahwa air mataku terlalu berharga untuk menangisi dirinya. Sosok yang tidak sudi membukakan hatinya untukku. Yang tak pernah tahu dan peka bagaimana perasaan seorang wanita yang sangat mencintainya dengan tulus. Hanya luapan emosi yang bertengger di hati ini. namun lagi-lagi, Kak Dio datang disaat aku memang membutuhkan teman. Ia menyarankan aku untuk tak menyimpan emosi untuk Kak Fariz, justru memaafkannya, dan menjadikan kisah pengorbanan cintaku itu menjadi sebuah pengalaman berarti yang harus aku teladani hikmahnya.
Ya, Kak Dio benar. Segala sesuatu pasti memiliki hikmah yang terpendam. Untuk Kak Fariz, aku ucapkan terimakasih kepadamu. Karena telah melatih kesabaranku, menguji kesetiaanku, sekaligus membantuku mencari siapa sebenarnya cinta sejatiku. Dan, orang itu bukanlah anda. Aku telah salah selama ini. Dan untuk Kak Dio, kusampaikan maaf atas semua tindakanku kepada Kakak. Dan tak lupa, ribuan terima kasih dari hatiku yang paling dalam atas semua kesetiaanmu. Perhatianmu, sikap dewasamu, semuanya. Semuanya indah. Dan kini aku sadar, siapa yang terbaik. Orang itu adalah kamu, Kak Dio.